Oleh: Novritsar Hasintongan Pakpahan, S.H., S.Pd. (Hakim PN Sambas)
Masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menyebabkan setiap individu melakukan protokol kesehatan dengan meminimalisasi kontak fisik baik secara jarak maupun menjaga kebersihan diri. Protokol kesehatan ini menyebabkan banyak orang menyesuaikan diri dalam melakukan aktivitas keseharian, tidak terkecuali bagi instansi penyelenggara negara. Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya juga merupakan instansi penyelenggara negara yang memiliki frekuensi tinggi dalam berinteraksi secara fisik dengan banyak orang, baik itu secara internal maupun eksternal. Untuk itu, Mahkamah Agung (MA) telah mengoptimalkan pelaksanaan penyelenggaraan fungsi peradilan berbasis protokol kesehatan Covid-19 dengan penggunaan e-Court bagi perkara perdata dan persidangan teleconference bagi perkara pidana.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum sebagai bagian dari MA bertindak cepat dengan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia hingga menerbitkan Perjanjian Kerjasama Nomor 402/DJU/ HM.01.1/4/2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui teleconference. Dalam peraturan tersebut, Pasal 5 ayat (3) mengatur agar para penyelenggara persidangan saling berkoordinasi untuk pelaksana persidangan teleconference. Dalam hal ini, penyelenggaraan persidangan dikembalikan kepada masing-masing satuan kerja.
Dalam praktik peradilan Indonesia, persidangan teleconference banyak menggunakan piranti lunak teleconference seperti Skype dan Zoom. Piranti-piranti lunak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi, kekurangan yang harus disorot adalah Skype tidak berfungsi baik tanpa kecepatan internet yang tinggi dan stabil dengan ketentuan minimal bandwidth 512 kbps kecepatan unduh dan 128 kbps kecepatan unggah (Skype, 2020), sedangkan Zoom tidak mendukung keamanan privasi data sehubungan tidak menggunakan End-To-End enkripsi melainkan sebatas Transport Layer Security (CCC, 2020) serta berbayar. Menunggu pengaturan secara khusus dari Mahkamah Agung, badan peradilan Indonesia dapat mempertimbangkan penggunaan piranti lunak Google Meet sehubungan tidak berbayar, menggunakan end-to-end enkripsi, tidak terbatas pada kecepatan, dan menyediakan fasilitas konferensi dengan baik (Cambridge, 2020).
Meskipun dengan adanya piranti lunak yang memfasilitasi persidangan teleconference, pelaksanaannya sendiri masih problematik mengingat belum ada standar operasional prosedur yang berlaku secara nasional. Akibatnya, persidangan teleconference masih memiliki beberapa kekurangan teknis seperti pengelolaan piranti lunak dalam persidangan (Kompas.com, Mei 2020). Oleh karena itu, perlu adanya peran serta hakim dan pranata komputer.
Pada prinsipnya, Hakim Ketua Majelis adalah pihak yang memimpin pelaksanaan persidangan sesuai ketentuan Pasal 217 KUHAP. Hakim Ketua Majelis dituntut memahami juga bagaimana pelaksanaan persidangan teleconference. Hal ini berkaitan dengan pemberian kesempatan serta hak dan kewajibanpara pihak yang berlitigasi oleh Hakim Ketua Majelis dalam suatu persidangan. Sebagai contoh, jika ada hal yang ingin disampaikan oleh salah satu pihak, pihak tersebut harus meminta izin kepada Majelis Hakim. Pada saat itu pula, Hakim harus memberikan ‘kesempatan berbicara’ melalui pengaktifan mikrofon dan penempatan layar utama dalam teleconference kepada pihak yang berbicara agar semua pihak termasuk Majelis Hakim dapat melihat pihak yang berbicara dengan jelas. Lebih lanjut, hukum acara juga dapat difasilitasi pelaksanaannya oleh Hakim Ketua Majelis dengan piranti lunak yang ada.
Sebagai contoh, pemeriksaan barang bukti wajib disaksikan oleh semua pihak yang berlitigasi sesuai ketentuan Pasal 181 KUHAP. Untuk itu, Hakim Ketua Majelis harus tahu kapan waktu untuk menunjukkan barang bukti tersebut ke dalam layar melalui fasilitas berbagi-layar yang ada dalam piranti lunak. Hal itu dilakukan agar terpenuhi asas hukum acara pidana yaitu perlakuan yang sama di hadapan hukum, yaitu Terdakwa dan Penuntut Umum mempunyai hak yang sama atas pembuktian. Oleh karena itu, Hakim dipandang perlu untuk memahami teknis persidangan teleconference.
Selain hakim, pranata komputer berperan penting dalam persidangan teleconference. Pada dasarnya, kewajiban menyiapkan ruang sidang bagi pelaksanaan persidangan dan Majelis Hakim menjadi tanggung jawab dari Petugas Persidangan atau Panitera Pengganti (Buku II Pedoman Teknis, 2007). Namun, dalam persidangan teleconference, kompetensi Petugas Persidangan dan Panitera Pengganti tidak bisa menyamai kompetensi Pranata Komputer berkaitan dengan Teknologi Informasi. Mengingat bahwa pranata komputer merupakan pelaksana penyelenggaraan sistem informasi berbasis komputer di peradilan (Peraturan SekMA 5/2015), pranata komputer dapat menyiapkan ruang sidang untuk persidangan teleconference agar siap dipakai serta menghubungkan secara teleconference dengan pihak yang berlitigasi.
Tentunya, peran pranata komputer tidak lepas dari Panitera Pengganti untuk mencatat kesiapan Majelis Hakim dan para pihak yang berlitigasi. Lebih lanjut, pranata komputer juga penting perannya agar memastikan tidak ada gangguan teknis teknologi informasi dalam persidangan teleconference demi kelancaran persidangan. Dalam praktik persidangan teleconference, banyak menjadi terkendala dan tertunda karena ada gangguan teknis teknologi informasi, seperti gangguan suara, tidak muncul gambar, dan tidak ada pranata komputer yang bisa menyelesaikan permasalahan teknis tersebut. Penguasaan teknis Hakim dan Pranata Komputer atas persidangan teleconference memegang kunci penting dalam kelancaran dan keberhasilan persidangan.
Sumber: Majalah Dandapala Volume VI Edisi 38 November-Desember 2020 halaman 54-55