Articles

APPLE TO APPLE PENDEKATAN YURIDIS PENERAPAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN ATAU MENJAGA LEGAL FORMIL DALAM SUATU PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Oleh: Mayor Chk K.G. Raegen (Hakim Yustisial Ditjen Badilmiltun MA RI)

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Lalu yang dimaksud dengan majelis di dalam pasal ini tentunya adalah Hakim dan bukan Panitera Pengganti atau Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer ataupun Penasihat Hukum.

Hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang otonom, bebas dan merdeka yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun termasuk oleh rekan hakim lainnya. Secara holistik kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara maupun kekuasaan lainnya, berdasarkan konstitusi negara hal ini sudah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar. Dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pidana tentunya dengan mendasari Surat Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer.

Adapun fungsi Surat Dakwaan dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

  1. Bagi Hakim, berfungsi sebagai dasar memeriksa, menggali kebenaran materil, sekaligus menjadi dasar pertimbangan dalam penjatuhan putusan;
  2. Bagi Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer, berfungsi sebagai dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;dan
  3. Bagi Terdakwa dan/ Penasihat Hukumnya, berfungsi sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Surat Dakwaan yang diajukan ke pengadilan merupakan salah satu syarat suatu Berkas Perkara untuk diperiksa dan dibuktikan kebenarannya serta haruslah memenuhi syarat formil maupun materil, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 Ayat (2) KUHAPMil jo Pasal 143 KUHAP.

Adapun yang dimaksud dengan syarat formil yang harus dipenuhi dalam menyusun Surat Dakwaan adalah adanya tanggal dan tandatangan Oditur Militer di dalam Surat Dakwaan tersebut, juga terdapat identitas Terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, pangkat, NRP, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan tempat tinggal Terdakwa (untuk yang berstatus Prajurit TNI/yang dipersamakan vide Pasal 9 KUHAPMil), sedangkan menurut Pasal 143 Ayat (2) KUHAP isinya hampir sama dengan KUHAPMil hanya tidak terdapat item-item yang merupakan kekhasan di lingkungan militer seperti pangkat, NRP, jabatan dan kesatuan.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materil dari Surat Dakwaan adalah di dalam suatu Surat Dakwaan haruslah memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap dari suatu tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh Terdakwa. Hal ini berlaku sama baik di KUHAPMil maupun KUHAP. Suatu Surat Dakwaan dinyatakan memenuhi syarat materil apabila sudah mampu mendeskripsikan secara bulat dan utuh, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI No : SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yaitu:

  1. Tindak pidana yang dilakukan;
  2. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut;
  3. Dimana tindak pidana dilakukan;
  4. Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan;
  5. Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan;
  6. Akibat apa yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut (delik materil);
  7. Apakah yang mendorong Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik tertentu);dan
  8. Ketentuan tindak pidana yang diterapkan.

Bahwa Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tindak pidana juga terikat akan asas-asas hukum, salah satu diantaranya yaitu asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana tertera di dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas ini juga berlaku secara universal yang memiliki arti sebagai berikut, peradilan sederhana bermakna proses pemeriksaan hingga penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien, lalu peradilan cepat memiliki makna berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut atau dikenal juga dengan adagium justice delayed justice denied (peradilan yang lambat tidak akan pernah memberikan keadilan kepada para pihak), sedangkan peradilan biaya ringan memiliki makna biaya perkara di pengadilan dapat dijangkau oleh masyarakat para pencari keadilan.

Yang menjadi pertanyaan, dalam realitasnya ketika hakim sebagai pelaksana hukum juga sekaligus sebagai pembentuk hukum in concreto dihadapkan lebih mengedepankan pendekatan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara pidana ataukah lebih mengedepankan pendekatan legal formil maupun materil dari suatu Surat Dakwaan yang akan ia periksa, ia putus dan ia adili?, Ataukah menjaga keseimbangan keterpenuhan asas hukum pidana (dalam hal ini asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan) dengan terpenuhinya syarat formil maupun materil dari suatu Surat Dakwaan?

Hal ini merupakan peristiwa yang mungkin sering terjadi dan dialami oleh para penegak hukum khususnya hakim, namun demikian rasanya tidak normal membandingkan apple to apple antara kedua hal penting tersebut di atas. Akan tetapi suatu keniscayaan apabila memandang remeh akan hal tersebut. Menjaga asas hukum dan kelengkapan syarat formil maupun materil juga penting dalam suatu penegakan hukum yang muaranya adalah memberikan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi para pencari keadilan dan bagi keutuhan hukum itu sendiri. Salah satu contoh apabila diketahui dalam proses pemeriksaan para saksi, terdakwa hingga barang bukti baru diketahui adanya cacat formil dalam proses pemeriksaan tersangka, dimana tersangka hanya diperiksa sekali dalam kapasitasnya sebagai saksi oleh penyidik dan bukan sebagai tersangka, lalu penyidik yang memeriksa bukanlah penyidik yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan yurisdiksinya dan tidak ada permohonan bantuan pemeriksaan kepada penyidik setempat dimana locus dan tempus tindak pidana diduga telah terjadi, tentunya hal ini akan berimbas kepada keabsahan Surat Dakwaan yang disusun oleh Oditur Militer/Jaksa Penuntut Umum.

Dalam proses penyidikan dan penuntutan merupakan tahapan penting dari suatu mekanisme hukum acara pidana sebelum perkara tersebut diperiksa dimuka persidangan oleh Majelis Hakim, karena saat proses penyidikan dimulai, saat itulah proses pencarian kebenaran materil dari suatu perkara dilakukan oleh seorang penyidik guna mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut akan membuat terang suatu perkara tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Namun apabila dalam proses penyidikan terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan berkas perkara tersebut cacat formil, maka akan sangat disayangkan, karena ketika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan sudah tentu akan membuat rumit penyelesaian perkara tersebut dan terkesan bertele-tela, lambat bahkan membuat penilaian yang minor oleh masyarakat pencari keadilan bagi lembaga hukum serta lebih luasnya bagi hukum itu sendiri.

Sudah menjadi amanat dari undang-undang apabila asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas yang harus dipatuhi, namun demikian dalam keadaan-keadaan tertentu ternyata pemahaman akan asas ini masih terdapat pemahaman yang absurd sehingga terkadang berbenturan dengan pemahaman akan pemenuhan syarat formil dan materil dari suatu Berkas Perkara juga penting dalam menjaga keutuhan hukum itu sendiri.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip negara hukum (rechsstaat) dan sudah selayaknya dalam penegakan hukum harus menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Penegakan hukum harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materil, sehingga dalil menegakkan hukum dengan mengabaikan keberadaan hukum formil tidak dapat dibenarkan dalam bingkai negara hukum itu sendiri, karena pada dasarnya konstitusi negara menjamin kesamaan dalam hukum terhadap warganya (equality before the law). Oleh karenanya memegang asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sama pentingnya dengan menjaga legal formil maupun materil dalam suatu proses mekanisme penyelesaian perkara pidana di pengadilan, sehingga antara asas dan penerapan hukum harus seiring sejalan tanpa ada yang terabaikan.

Oleh Mayor Chk K.G. Raegen-Hakim Yustisial Ditjen Badilmiltun MA RI)

 

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Lalu yang dimaksud dengan majelis di dalam pasal ini tentunya adalah Hakim dan bukan Panitera Pengganti atau Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer ataupun Penasihat Hukum.

Hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang otonom, bebas dan merdeka yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun termasuk oleh rekan hakim lainnya. Secara holistik kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara maupun kekuasaan lainnya, berdasarkan konstitusi negara hal ini sudah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar. Dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pidana tentunya dengan mendasari Surat Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer.

Adapun fungsi Surat Dakwaan dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

  1. Bagi Hakim, berfungsi sebagai dasar memeriksa, menggali kebenaran materil, sekaligus menjadi dasar pertimbangan dalam penjatuhan putusan;
  2. Bagi Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer, berfungsi sebagai dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;dan
  3. Bagi Terdakwa dan/ Penasihat Hukumnya, berfungsi sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Surat Dakwaan yang diajukan ke pengadilan merupakan salah satu syarat suatu Berkas Perkara untuk diperiksa dan dibuktikan kebenarannya serta haruslah memenuhi syarat formil maupun materil, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 Ayat (2) KUHAPMil jo Pasal 143 KUHAP.

Adapun yang dimaksud dengan syarat formil yang harus dipenuhi dalam menyusun Surat Dakwaan adalah adanya tanggal dan tandatangan Oditur Militer di dalam Surat Dakwaan tersebut, juga terdapat identitas Terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, pangkat, NRP, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan tempat tinggal Terdakwa (untuk yang berstatus Prajurit TNI/yang dipersamakan vide Pasal 9 KUHAPMil), sedangkan menurut Pasal 143 Ayat (2) KUHAP isinya hampir sama dengan KUHAPMil hanya tidak terdapat item-item yang merupakan kekhasan di lingkungan militer seperti pangkat, NRP, jabatan dan kesatuan.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materil dari Surat Dakwaan adalah di dalam suatu Surat Dakwaan haruslah memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap dari suatu tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh Terdakwa. Hal ini berlaku sama baik di KUHAPMil maupun KUHAP. Suatu Surat Dakwaan dinyatakan memenuhi syarat materil apabila sudah mampu mendeskripsikan secara bulat dan utuh, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI No : SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yaitu:

  1. Tindak pidana yang dilakukan;
  2. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut;
  3. Dimana tindak pidana dilakukan;
  4. Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan;
  5. Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan;
  6. Akibat apa yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut (delik materil);
  7. Apakah yang mendorong Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik tertentu);dan
  8. Ketentuan tindak pidana yang diterapkan.

Bahwa Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tindak pidana juga terikat akan asas-asas hukum, salah satu diantaranya yaitu asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana tertera di dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas ini juga berlaku secara universal yang memiliki arti sebagai berikut, peradilan sederhana bermakna proses pemeriksaan hingga penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien, lalu peradilan cepat memiliki makna berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut atau dikenal juga dengan adagium justice delayed justice denied (peradilan yang lambat tidak akan pernah memberikan keadilan kepada para pihak), sedangkan peradilan biaya ringan memiliki makna biaya perkara di pengadilan dapat dijangkau oleh masyarakat para pencari keadilan.

Yang menjadi pertanyaan, dalam realitasnya ketika hakim sebagai pelaksana hukum juga sekaligus sebagai pembentuk hukum in concreto dihadapkan lebih mengedepankan pendekatan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara pidana ataukah lebih mengedepankan pendekatan legal formil maupun materil dari suatu Surat Dakwaan yang akan ia periksa, ia putus dan ia adili?, Ataukah menjaga keseimbangan keterpenuhan asas hukum pidana (dalam hal ini asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan) dengan terpenuhinya syarat formil maupun materil dari suatu Surat Dakwaan?

Hal ini merupakan peristiwa yang mungkin sering terjadi dan dialami oleh para penegak hukum khususnya hakim, namun demikian rasanya tidak normal membandingkan apple to apple antara kedua hal penting tersebut di atas. Akan tetapi suatu keniscayaan apabila memandang remeh akan hal tersebut. Menjaga asas hukum dan kelengkapan syarat formil maupun materil juga penting dalam suatu penegakan hukum yang muaranya adalah memberikan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi para pencari keadilan dan bagi keutuhan hukum itu sendiri. Salah satu contoh apabila diketahui dalam proses pemeriksaan para saksi, terdakwa hingga barang bukti baru diketahui adanya cacat formil dalam proses pemeriksaan tersangka, dimana tersangka hanya diperiksa sekali dalam kapasitasnya sebagai saksi oleh penyidik dan bukan sebagai tersangka, lalu penyidik yang memeriksa bukanlah penyidik yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan yurisdiksinya dan tidak ada permohonan bantuan pemeriksaan kepada penyidik setempat dimana locus dan tempus tindak pidana diduga telah terjadi, tentunya hal ini akan berimbas kepada keabsahan Surat Dakwaan yang disusun oleh Oditur Militer/Jaksa Penuntut Umum.

Dalam proses penyidikan dan penuntutan merupakan tahapan penting dari suatu mekanisme hukum acara pidana sebelum perkara tersebut diperiksa dimuka persidangan oleh Majelis Hakim, karena saat proses penyidikan dimulai, saat itulah proses pencarian kebenaran materil dari suatu perkara dilakukan oleh seorang penyidik guna mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut akan membuat terang suatu perkara tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Namun apabila dalam proses penyidikan terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan berkas perkara tersebut cacat formil, maka akan sangat disayangkan, karena ketika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan sudah tentu akan membuat rumit penyelesaian perkara tersebut dan terkesan bertele-tela, lambat bahkan membuat penilaian yang minor oleh masyarakat pencari keadilan bagi lembaga hukum serta lebih luasnya bagi hukum itu sendiri.

Sudah menjadi amanat dari undang-undang apabila asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas yang harus dipatuhi, namun demikian dalam keadaan-keadaan tertentu ternyata pemahaman akan asas ini masih terdapat pemahaman yang absurd sehingga terkadang berbenturan dengan pemahaman akan pemenuhan syarat formil dan materil dari suatu Berkas Perkara juga penting dalam menjaga keutuhan hukum itu sendiri.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip negara hukum (rechsstaat) dan sudah selayaknya dalam penegakan hukum harus menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Penegakan hukum harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materil, sehingga dalil menegakkan hukum dengan mengabaikan keberadaan hukum formil tidak dapat dibenarkan dalam bingkai negara hukum itu sendiri, karena pada dasarnya konstitusi negara menjamin kesamaan dalam hukum terhadap warganya (equality before the law). Oleh karenanya memegang asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sama pentingnya dengan menjaga legal formil maupun materil dalam suatu proses mekanisme penyelesaian perkara pidana di pengadilan, sehingga antara asas dan penerapan hukum harus seiring sejalan tanpa ada yang terabaikan.