Articles

Penerapan Asas “In Dubio Pro Natura”

Oleh: Yura Pratama Yudhistira, S.H. (Hakim PN Sibolga)

Putusan Nomor 690 PK/Pdt/2018

Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena ternyata terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan judex juris dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa pertimbangan Judex Facti dalam pokok perkara yang dikuatkan oleh Judex Juris bahwa kerusakan lingkungan hidup tidak terjadi karena dalam bekas areal kebakaran lahan dan hutan gambut masih dapat ditanami dengan pohon sawit merupakan pertimbangan yang keliru dan bertentangan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan atau Lahan;

Bahwa berdasarkan pengamatan lapangan oleh Saksi-Saksi Ahli yang diajukan Penggugat/Pemohon Peninjauan Kembali yang merupakan Saksi- Saksi Ahli yang bidang keahlian mereka sangat relevan dengan masalah yang perlu diterangkan dan telah memiliki rekam jejak dalam beberapa perkara yang sejenis pada masa lalu sehingga kualifikasi mereka sebagai Saksi-Saksi Ahli tidak diragukan serta dihubungkan dengan hasil Analisa laboratorium atas sampel-sampel yang diambil di 9 (sembilan) lokasi dalam areal bekas kebakaran terjadi telah terbukti 7 (tujuh) parameter yaitu:

1) penurunan permukaan gambut;

2) kadar C Organik menurun;

3) kadar N menurun;

4) total mikroorganisme menurun;

5) total fungsi menurun;

6) kepunahan spesies flora;

7) populasi kerusakan flora;

sebagaimana disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 telah terlampaui sehingga dengan demikian telah terjadi pelanggaran hukum;

Bahwa parameter-parameter dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 merupakan Baku Kerusakan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar bagi penentuan telah terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 1 butir 15 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu sebagai “ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya”;

Bahwa dengan terlampauinya kriteria-kriteria baku kerusakan tersebut berarti telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup karena kriteria-kriteria baku itu dibuat berdasarkan kajian dan pertimbangan ilmiah para ahli ilmu terkait lingkungan dan telah dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 sebagai penjabaran dari Pasal 1 butir 15 Undang Undang No. 32 Tahun 2009. Kerusakan lingkungan hidup tentu menimbulkan kerugian lingkungan hidup yang dapat diukur atau diperkirakan dengan nilai uang. Selain itu, kebakaran hutan, vegetasi dan lahan pasti melepaskan apa yang disebutkan dengan “gas-gas rumah kaca” ke udara atau atmosphere yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Fakta ini juga tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti maupun Judex Juris;

Bahwa kesimpulan dan pertimbangan Judex Facti dan Judex Juris yang lebih mendasarkan pada keterangan Ahli yang diajukan oleh Tergugat merupakan kesimpulan dan pertimbangan keliru karena tidak menerapkan asas kehati-hatian sebagaimana terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Asas “kehati-hatian” (precautionary principle) mengandung makna bahwa pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim sebagai Pejabat Negara pengambil keputusan dalam penegakan hukum atau penyelesaian sengketa jika dihadapkan dengan adanya “ketidakpastian ilmiah” tidak berarti serta-merta menyimpulkan tidak ada akibat atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi tetapi sebaliknya harus mengambil keputusan demi kepentingan perlindungan atau pemulihan lingkungan hidup (in dubio pro natura) karena kerusakan lingkungan hidup bersifat laten (tidak segera kelihatan) dan sering tidak dapat dipulihkan. Asas “kehati-hatian” telah diterapkan dalam perkara-perkara terdahulu yaitu Putusan Perkara Nomor 1794 K/Pdt/2004 (Dedi dan kawan-kawan lawan Presiden Republik Indonesia dan kawan-kawan), Putusan Perkara Nomor 651 K/Pdt/2015 (KLHK lawan PT Kalista Alam) dan Putusan Perkara Nomor 460 K/Pdt/2016 (KLHK lawan PT MPL). Perkara-perkara terdahulu tersebut terkait dengan kegiatan yang berdampak luas pada hutan atau kawasan hutan seperti juga perkara sekarang;

Bahwa Indonesia telah meratifikasi The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) dengan Undang Undang Nomor6 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42). Pelepasan gasgasrumah kaca sebagai akibat terjadinya kebakaran sama sekali tidakdipertimbangkan oleh Judex Facti dan Judex Juris. Sebagai Negara PesertaKonvensi itu, Indonesia berkewajiban untuk mencegah terjadinya pelepasangas-gas rumah kaca serta melakukan perlindungan dan penguatan Kawasanhutan;

Bahwa kawasan hutan gambut yang terbakar memenuhi kriteria yang harus dilindungi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

Bahwa dengan telah terbuktinya kerusakan lingkungan hidup khususnya kawasan hutan dan pelepasan gas-gas rumah kaca ke udara, menjadi pertanyaan apakah Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali dapat dikenai pertanggungjawaban perdata atas kerusakan lingkungan itu;

Bahwa sistem hukum Indonesia dewasa ini selain mengenal pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata juga mengenal pertanggungjawaban tanpa unsur kesalahan sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Bahwa Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali harus memikul pertanggungjawaban perdata meskipun Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali memiliki Izin Usaha karena Izin Usaha tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban perdata jika terbukti Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali melakukan pelanggaran hukum. Pasal 69 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Demikian juga Pasal 26 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan juncto Pasal 56 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 melarang pelaku usaha perkebunan membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar;

Bahwa dari fakta lapangan berdasarkan keterangan Saksi yang diajukan oleh Penggugat diketahui adanya unsur pembiaran terjadinya kebakaran karena kebakaran memberi keuntungan kepada Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali. Lagi pula jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 88 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa bagi kegiatan usaha yang menimbulkan “ancaman serius terhadap lingkungan hidup” bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Kebakaran yang terjadi dalam areal kegiatan Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali dapat dikategorikan sebagai “ancaman serius terhadap lingkungan hidup” sehingga Tergugat/Termohon Peninjauan Kembali dapat dikenai pertanggungjawaban mutlak dengan pertimbangan bahwa kawasan lahan dan hutan hambut memiliki fungsi ekologis penting bagi kehidupan manusia pada masa sekarang dan masa mendatang antara lain sebagai penjaga tata air, paru-paru bumi dan habitat bagi flora dan fauna sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang juga berhak untuk hidup dan dilindungi;

Putusan Nomor 651 K/Pdt/2015

Ringkasan putusan dapat dibaca disini

 

Sumber: https://yurapratama.wordpress.com/2022/02/04/penerapan-asas-in-dubio-pro-natura/