Oleh: Mayor Chk K.G. Raegen (Hakim Yustisial Ditjen Badilmiltun MA RI)
Konstitusi menyatakan Negara Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan yang berbentuk Republik, lebih lanjut konstitusi negara juga menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), sehingga adagium yang menyatakan hukum adalah panglima, yang berarti dalam praktik bernegara hukum harus dijadikan pegangan utama dalam menyelesaikan suatu permasalahan
Lalu bagaimana apabila terdapat peristiwa hukum yang termasuk ke dalam delik yang sama, namun diatur oleh beberapa perundang-undangan?, contohnya Pasal 86 ke-1 KUHPM dengan Pasal 8 huruf b Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Kemudian bagaimana Putusan dari Majelis Hakim apabila dakwaan yang diajukan berbentuk tunggal Pasal 86 ke-1 KUHPM dengan ketidakhadiran tanpa izin selama 1-4 hari? (Putusan berupa pemidanaan atau bebas/lepas).
Menurut Hans Kelsen, apabila terdapat konflik pada suatu norma (allgemeine der normen atau conflict rules) dimana ada kecenderungan ketika dipilih tentu akan melanggar norma yang lainnya. Pengabaian terhadap norma yang lain yang sama-sama mengatur suatu delik merupakan tindakan yang tidak dapat dihindari dalam pendekatan dogmatik hukum. Dalam hukum pidana, konflik norma terjadi ketika kedua norma sama-sama mengatur perbuatan yang dilarang, namun memiliki sanksi hukum yang berbeda ataupun ketika kedua norma sama-sama mengatur perbuatan yang dilarang dengan sanksi yang sama, namun norma yang satu lebih khusus dibandingkan dengan norma lainnya yang diperbandingkan.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung RI YM. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L. ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penerapan lex spesialis derogat legi generalis, yakni:
- Ketentuan yang didapati dalam aturan yang bersifat umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
- Ketentuan yang bersifat khusus harus sederajat dengan ketentuan yang bersifat umum. Misalnya, undang-undang dengan undang-undang; dan
- Ketentuan yang bersifat khusus harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan ketentuan yang bersifat umum. Misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Pasal 86 ke-1 KUHPM menyebutkan “Militer yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari”, sedangkan Pasal 8 huruf b Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer menyebutkan “Jenis pelanggaran disiplin militer terdiri atas perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya” jo Penjelasan Pasal 8 huruf b, yaitu:
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya”, meliputi:
- Segala bentuk tindak pidana yang digolongkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
- Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya;
- Tindak pidana yang terjadi tidak mengakibatkan terganggunya kepentingan militer dan/atau kepentinngan umum; dan
- Tindak pidana karena ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 (empat) hari.
Secara eksplisit dalam penjelasan Pasal 8 huruf b pada huruf d Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer telah mendefinisikan secara mutlak bahwa tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya itu adalah Ketidakhadiran tanpa izin dengan batasan maksimal 4 hari merupakan jenis pelanggaran disiplin militer, yang disisi lainnya menurut Pasal 86 ke-1 KUHPM merupakan delik militer. Pada peristiwa hukum ini tentunya ada konflik norma yang membutuhkan pemikiran yang jernih dengan pendekatan dogmatik hukum dan mengedepankan asas lex spesialis derogat legi generalis.
Berdasarkan prinsip asas lex spesialis derogat legi generalis dapat dijabarkan antara KUHPM dengan UU HDM adalah sebagai berikut:
- Ketidakhadiran tanpa izin sebagaimana yang ada pada Pasal 86 ke-1 KUHPM sebagai aturan yang bersifat umum masih berlaku dan demikian juga ketidakhadiran tanpa izin paling lama 4 hari juga diatur dalam UU HDM yang bersifat khusus.
- KUHPM dan HDM merupakan aturan yang sederajat dalam bentuk UU; dan
- KUHPM dan HDM masih dalam satu rumpun Hukum Militer.
Dalam peristiwa hukum kontemporer ini secara dogmatik hukum pembuktian terhadap delict Ketidakhadiran tanpa izin di bawah 4 (empat) hari dalam proses pembuktian di persidangan tentu menggunakan instrumen Hukum Acara Pidana Militer yang diatur dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bukan memakai instrumen Hukum Disiplin Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Mengapa? Dikarenakan yang Pertama, Berkas Perkara mengenai perbuatan tersebut telah dilimpahkan secara prosedural oleh Oditur Militer selaku Jaksa Penuntut Umum Militer kepada Pengadilan Militer untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh Majelis Hakim. Kedua, Ketentuan mengenai ketidakhadiran tanpa izin tidak lebih lama dari 30 hari (Pasal 86 ke-1 KUIHPM) yang didapati dalam aturan yang bersifat umum masih tetap berlaku, demikian juga ketidakhadiran tanpa izin diatur oleh UU HDM, sehingga tidak ada yang dikhususkan, yang berbeda hanya mengenai lamanya periode si Prajurit TNI tersebut meninggalkan kesatuan tanpa izin, selebihnya kedua aturan tersebut bersifat sama tidak ada yang dikhususkan.
Lalu jenis putusan apa yang tepat untuk dijatuhkan terhadap delik tersebut, apabila dalam proses pembuktian di persidangan diketahui si Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan delik ketidakhadiran tanpa izin (tidak terbatas kurang dari 4 hari saja), maka jenis putusannya adalah putusan berupa pemidanaan dan bukan putusan bebas/lepas ataupun putusan bebas/lepas dengan ketentuan diserahkan kepada Ankumnya untuk diselesaikan melalui prosedur Hukum Disiplin Militer sebagaimana diatur dalam Undangp-Undang RI No. 25 Tahun 2014.
Menurut Hart, asas lex spesialis derogat legi generalis ini mengatur mengenai pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan diterapkan, secara faktual asas ini hanya mengatur mengenai batasan kewenangan bukan terkait perumusan delict. Sehingga bagi aparat penegak hukum sangat penting untuk memahami asas lex spesialis derogat legi generalis secara komprehensif dalam menerapkan hukum mana yang diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit.
Apabila dalam tahap proses penyidikan diketahui delict ini nyata-nyata masuk ke ranah Hukum Disiplin Militer (Ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai paling lama 4 hari) tentunya penyidik selaku aparat penegak hukum dapat menyerahkan Prajurit TNI pelanggar kepada Perwira Penyerah Perkara (Pappera) untuk diselesaikan menurut prosedur Hukum Disiplin Militer, namun apabila penyidik tetap menyerahkan perkara tersebut untuk disidangkan ke Majelis Hakim Pengadilan Militer maka perkara tersebut diperiksa, diadili dan diputus melalui mekanisme hukum acara pidana yang berlaku, apabila terbukti melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam periode waktu minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari 30 hari (Pasal 86 ke-1 KUHPM) tentunya bentuk putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim adalah putusan pemidanaan.