Articles

Precautionary Principle dalam Putusan Hakim

Precautionary Principle dalam Putusan Hakim

Oleh: Yura Pratama Yudhistira, S.H. (Hakim PN Sibolga)

Putusan Nomor 1095 K/Pdt/2018

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperbaiki putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak salah menerapkan hukum;

Bahwa dalam menimbang dan menilai alat-alat bukti Penggugat dan Tergugat, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta telah tepat dan benar, karena mendasarkan pada hukum pembuktian perdata dan juga ketentuanketentuan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai penjabaran dari Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009; Bahwa keberatan Tergugat/Pemohon Kasasi terhadap kualifikasi Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si., dan Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., sebagai ahli dalam perkara a quo tidak dapat dibenarkan, karena ternyata keahlian kedua ahli tersebut sangat relevan dengan masalah-masalah perkara a quo. Dilihat dari bidang keilmuan maupun tingkat pendidikan akademis, kedua ahli Penggugat memiliki keahlian di bidang kehutanan dan lahan yang relevan dengan masalah-masalah dalam perkara a quo. Kedua ahli itu juga terbukti telah berkali-kali melakukan penelitian di bidang kebakaran hutan dan lahan serta akibat-akibat ekologis dan ekonomis dari kebakaran hutan dan lahan. Lagipula kedua ahli telah berkali-kali menjadi ahli dalam perkara-perkara lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan;

Bahwa keberatan tentang prosedur pengambilan sampel dan kualifikasi hasil analisis sampel oleh ahli pada laborotorium IPB tidak dapat dibenarkan, karena prosedur pengambilan sampel telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Tata

Cara Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Penggunaan jasa laboratorium IPB telah dilakukan secara resmi melalui permintaan resmi oleh Penggugat. IPB merupakan lembaga Pendidikan tinggi nasional yang memfokuskan pada pendidikan dan kajian di bidang pertanian dan kehutanan, sehingga kredibilitas laboratoriumnya tidak perlu diragukan. Oleh sebab itu keabsahan ilmiah maupun hukum pengambilan sampel dan hasil analisis sampel dapat diandalkan;

Bahwa keberatan Pemohon Kasasi tentang luas kebakaran lahan juga tidak dapat menjadi alasan untuk membatalkan putusan Judex Facti, karena keberatan itu pada dasarnya membuktikan pengakuan Tergugat sendiri bahwa memang benar terjadi kebakaran dalam wilayah usaha Tergugat/Pemohon Kasasi, sehingga dalil pokok gugatan bahwa Tergugat/Pemohon Kasasi telah melakukan perbuatan melawan hukum telah terbukti. Soal luas kebakaran pada pokoknya menyangkut masalah factual (questions of fact) yang menjadi kewenangan dari Judex Facti yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sedangkan Majelis Kasasi hanya berwenang mengadili segi penerapan hukum saja (questions of laws). Pengadilan Tinggi telah berpendapat luas kebakaran mencakup 1.000 ha, walaupun Judex Facti/Pengadilan Negeri berpendapat luas kebakaran lahan hanya 120 ha. Majelis Kasasi berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi lebih tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut. Sengketa kebakaran hutan dan lahan bukan merupakan sengketa kepemilikan atas tanah yang mengharuskan ketepatan luas tanah yang dipersengketakan dengan pengukuran oleh instansi di bidang pertanahan. Kebakaran hutan dan lahan terkait dengan hilangnya berbagai unsur-unsur ekologis, kerusakan fungsi-fungsi ekologis sumber daya alam, seperti lahan gambut dan kepunahan berbagai flora dan fauna yang pada dasarnya tidak dapat dipulihkan sepenuhnya seperti sedia kala (irreversible effects). Manusia tidak mampu menciptakan unsur-unsur ekologis, fauna dan flora, karena hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang mampu menciptakan mereka. Oleh sebab itu Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai perwujudan masyarakat Internasional memberi perhatian tehadap keberlangsungan dan perlindungan unsur-unsur ekologi, fauna dan flora di setiap belahan bumi ini dengan menghasilkan konvensi tentang keanekaragaman hayati (the Convention on Biological Diversity, 1992) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi itu dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994. Selain itu Indonesia juga telah mengundangkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang intinya memuat norma-norma hukum tentang perlindungan fauna dan flora dan ekosistemnya yang mengikat setiap subyek hukum di Indonesia. Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009, juga tegas melarang kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar, kecuali kegiatan itu dilakukan oleh petani-petani tradisional dengan kearifan lokal. Pemohon Kasasi/Tergugat dalam hal ini tidak memenuhi kriteria sebagai petani tradisional dengan kearifan lokal, karena Tergugat merupakan subyek hukum badan usaha yang berorientasi mencari keuntungan finansial. Selain itu dampak dari kebakaran lahan tidak hanya dirasakan sebatas satu kabupaten atau provinsi tetapi menjangkau beberapa provinsi bahkan sampai ke negara tetangga dengan menimbulkan pencemaran udara lintas batas kabupaten/ provinsi dan negara. Apalagi dalam perkara a quo kegiatan Tergugat telah terbukti menimbulkan kebakaran di areal lahan gambut yang mempunyai fungsi-fungsi ekologis penting bagi bangsa Indonesia berupa pemeliharaan tata air. Lagi pula perkara-perkara lingkungan hidup selalu mengandung soalsoal ketidakpastian tentang luas terjadinya malapetaka lingkungan hidup, kerugian lingkungan hidup dan akibat-akibatnya pada masa sekarang dan masa mendatang. Mengingat lingkungan hidup ciptaan Allah SWT yang sangat kompleks yang kaitan antara satu kawasan atau satu jenis sumber daya alam dengan lainnya tidak diketahui sepenuhnya dan dengan pasti oleh manusia, maka hukum yang berlaku memerintahkan agar para pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim agar menerapkan asas keberhatihatian (precautionary principle). Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009, menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berasaskan kehati-hatian yang mengandung makna ketika dihadapkan soal ketidakpastian, maka pejabat pengambil keputusan termasuk Hakim harus membuat keputusan atau putusan yang lebih mengutamakan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup (in dubious pro natura);

Bahwa oleh karena itu dengan mengingat akibat-akibat dari kebakaran hutan dan lahan berupa kehilangan unsur-unsur ekologis, kehilangan fauna dan flora, pencemaran udara, terganggunya tata air dan penurunan fungsifungsi ekologis lain yang tidak dapat dipulihkan sepenuhnya, maka putusan dalam perkara lingkungan hidup yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan harus mengandung efek penjeraan (deterrent effect) agar para pelaku usaha lain juga memperhatikan dan mematuhi norma-norma hukum lingkungan hidup dalam menjalankan usahanya;

Bahwa kerugian ekologis atau kerugian lingkungan hidup merupakan kerugian yang tidak dapat diukur dengan harga pasar (market price), misalkan harga tanah atau rumah dapat diukur dengan harga pasar yang berlaku atau dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Penentuan kerugian ekologis atau lingkungan hidup harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang tersendiri atau khusus yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014, yang telah dibuat oleh instansi-instansi yang berwenang yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan melibatkan para ahli. Oleh sebab itu putusan Judex Facti yang telah mendasarkan pada hukum yang berlaku, harus dikuatkan dan permohonan kasasi Tergugat harus ditolak;

Putusan Nomor 651 K/Pdt/2015

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 6 Oktober 2014 dan jawaban memori tanggal 30 Oktober 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga yang menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup, terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat setidaknya kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan usaha sehingga telah menyebabkan terjadi kebakaran lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 6 Oktober 2014 dan jawaban memori tanggal 30 Oktober 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga yang menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup, terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat setidaknya kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan usaha sehingga telah menyebabkan terjadi kebakaran lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi;

Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut sertanya pemerintah daerah mengajukan gugatan dalam perkara a quo tidak menyebabkan gugatan kurang pihak sehingga pertimbangan hukum Judex Facti yang sudah tepat dan benar. Walaupun Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menggunakan kata-kata “pemerintah dan pemerintah daerah” tidak berarti kalau hanya pemerintah saja atau pemerintah daerah saja yang mengajukan gugatan membuat gugatan kurang pihak Penggugat karena mengajukan gugatan adalah soal wewenang yang sangat bergantung pada pemilik wewenang itu untuk menggunakan wewenangnya atau tidak. Hal ini bergantung pada tata Kelola pemerintahan dan kesadaran hukum dan lingkungan pemegang wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Lagi pula, Indonesia berbentuk negara kesatuan yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian kekuasaan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi atau otonomi. Jika pemerintah daerah sebagai penerima desentralisasi atau otonomi tidak menggunakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah, maka pemerintah dengan atau tanpa pemerintah daerah berwenang mengambil segala upaya hukum terhadap pihak yang telah menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup atau pemerosotan kwalitas sumber daya alam. Pemerintah memiliki tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 untuk memastikan bahwa perilaku setiap subjek hukum di wilayah Indonesia sejalan atau konsisten dengan pembangunan berkelanjutan;

Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut digugatnya Gubernur Aceh tidak menyebabkan kurang pihak Tergugat merupakan pertimbangan yang tepat dan benar karena Gubernur Aceh sebagai pejabat pemberi izin tidak terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang disangkakan kepada Tergugat. Pemberian izin mengandung pengertian bahwa tindakan si penerima izin adalah sah sepanjang mematuhi perundang-undangan yang berlaku. Jika penerima izin telah melakukan tindakan yang melawan hukum tidak ada hubungannya dengan pemberi izin;

Tentang luas areal kebakaran lahan telah dipertimbangkan oleh Judex Facti secara tepat dan benar dengan mendasarkan pemeriksaan setempat danketerangan ahli dan keterangan saksi. Oleh sebab itu, keberatan PemohonKasasi atas soal luas areal kebakaran lahan merupakan Penilaian HasilPembuktian yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi. DalilPemohon Kasasi untuk menentukan luas kebakaran lahan harus menggunakanpengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak dapatditerima karena permasalahan a quo bukan perselisihan soal hak atas tanahyang memang memerlukan pengukuran oleh Kantor Badan PertanahanNasional (BPN);

Tentang keberatan atas perhitungan ganti rugi lingkungan hidup dan biaya pemulihan lahan tidak dapat dibenarkan karena besaran ganti rugi sudah mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 yang telah dibuat oleh instansi pemerintah yang berwenang dalam bidang perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan lingkungan hidup dan dengan melibatkan para ahli lingkungan hidup. Menentukan ganti rugi lingkungan hidup memang tidak sama dengan menentukan ganti rugi material dalam perkara lainnya yang jumlah atau besaran kerugiannya dapat diukur dengan harga pasar sebuah produk atau objek misalkan harga tanah dan harga rumah maupun biaya pengobatan riel yang dikeluarkan oleh seorang dokter atau sebuah rumah sakit. Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi ekologis yang sangat kompleks yang banyak manfaatnya bagi manusia dan yang tidak kesemua manfaat itu diketahui pula oleh manusia. Kompleksitas dan manfaat lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan dijelaskan, antara lain, oleh ahli lingkungan hidup maupun oleh kearifan lokal. Oleh sebab itu, menentukan nilai uang atau harga kerusakan sumber daya alam dapat dibantu dengan keterangan ahli dan pengetahuan hakim yang diperoleh dari pemeriksaan setempat. Sekali lingkungan hidup mengalami kerusakan atau penurunan kualitas dan kuantitas, maka upaya pemulihan yang dilakukan oleh manusia tidak dapat mengembalikan sepenuhnya pada lingkungan hidup keadaan semula. Manusia tidak mampu menciptakan sumber daya alam karena penciptaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu pula, dalam menentukan sebab akibat antara aktifitas Tergugat dengan terjadinya kebakaran lahan, antara kebakaran lahan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul saat ini dan akibat-akibatnya di masa datang memang harus mendasarkan pada doktrin in dubio pro natura yang mengandung makna bahwa jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup harus lah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Penggunaan doktrin “in dubio pro natura” dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan dan administrasi bukan suatu pertimbangan yang mengada-ada karena ternyata sistem hukum Indonesia telah mengenal doktrin ini yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian (precautionary) , keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati (bio diversity) dan pencemar membayar (polluter pays principle). Oleh sebab itu, keberatan Pemohon Kasasi tentang soal sebab akibat antara kegiatan Pemohon Kasasi dan kerugian lingkungan yang timbul serta ganti rugi lingkungan hidup yang harus ditanggung Pemohon Kasasi ini harus ditolak;

Putusan Nomor 2905 K/Pdt/2015

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan seksama memori kasasi tanggal 8 Juni 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 6 Juli 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ternyata tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya;

Bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat, dimana kebakaran yang terjadi di lahan Tergugat yang telah mengakibatkan kerusakan tanah gambut, yang dapat mengakibatkan kerugian lingkungan hidup tidak terbukti. Dengan demikian tidak terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Tergugat yang merugikan Penggugat;

Bahwa berdasarkan fakta hukum, sesuai dengan pendapat ahli dan hasil penelitiannya dapat disimpulkan, tidak terbukti ada kerusakan tanah gambut yang dapat merusak lingkungan hidup sebagaimana yang dituduhkan oleh Penggugat;

Bahwa tidak seluruh rumpuk dan gambut di PT Surya Panen Subur terbakar akibat kejadian kebakaran dari tanggal 19 Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 2012 dan kebakaran lahan gambut di PT Surya Panen Subur tidak efektif menaikkan PH tanah dan tidak menurunkan kapasitas gambut sebagai penyimpan air;

Bahwa dari aspek PH/keasaman tanah, tidak ada perbedaan secara signifikan antara lahan yang terbakar dengan lahan yang tidak terbakar dan lahan masih berfungsi sesuai dengan peruntukannya sebagai kebun kelapa sawit, maka putusan dan pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) sudah tepat dan benar;

 

Sumber: https://yurapratama.wordpress.com/2020/12/01/precautionary-principle-dalam-putusan-hakim/