Articles

Seputar Tes Urine dalam Perkara Narkotika

Oleh: Yura Pratama Yudhistira, S.H. (Hakim PN Sibolga)

Putusan Nomor 987 K/Pid.Sus/2013

Bahwa alasan-alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa. Putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan Primair, dakwaan Subsidair, dan dakwaan Lebih Subsidair dan karena itu membebaskan Terdakwa dari dakwaan-dakwaan Penuntut Umum tersebut, didasarkan pada pertimbangan hukum yang tepat dan benar. 

Tidak terdapat cukup bukti bahwa Terdakwa menjadi perantara dalam jual beli Narkotika, penyalahgunaan Narkotika untuk diri sendiri maupun penyalahgunaan Narkotika untuk orang lain. Walaupun ada bukti urine Terdakwa positif mengandung ganja tetapi proses pengambilan urine Terdakwa tidak sesuai dengan prosedur pengambilan untuk kepentingan Projusticia yang mengharuskan Terdakwa datang sendiri ke rumah sakit atau didatangi petugas medis untuk diambil urinnya, sehingga hasil urine Terdakwa tersebut tidak memberi keyakinan kepada Hakim;

Putusan Nomor 855 K/Pid.Sus/2013

Hasil pemeriksaan urine Terdakwa diwarnai adanya kejanggalankejanggalan, yaitu :

• Bahwa hasil tes urine Terdakwa yang pertama yang dilakukan di Polres dengan menggunakan alat test peck, hasilnya negatif, yang bersesuaian dengan keterangan saksi Suryanti (Polisi), keterangan Syahruji (Penasehat Hukum Terdakwa yang Pertama), keterangan GT Fauziadi dan keterangan Terdakwa (Bidang Dokkes yang mengetes pertama urine Terdakwa);

• Bahwa setelah hasil tes urine pertama Terdakwa hasilnya negatif, maka urine Terdakwa dikirim ke Labfor Surabaya, dan hasil tes urine tersebut positif, adalah tidak masuk dalam logika hukum bahwa urine Terdakwa harus dikirim ke Surabaya padahal di Banjarmasin banyak Rumah Sakit yang dapat melakukan tes urine terhadap Terdakwa, karenanya hasil pemeriksaan urine tersebut harus dinyatakan tidak dapat dibenarkan;

Putusan Nomor 464 K/Pid.Sus/2013

Bahwa alasan keberatan kasasi dari Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut ;

• Bahwa Judex Facti telah memeriksa seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan dan telah mempertimbangkan seluruh fakta hukum in casu dengan tepat dan benar ;

• Bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tentang pembuktian yang tidak tepat oleh Judex Facti tentang hasil pemeriksaan urine Terdakwa tidak dibenarkan karena sesuai dengan penjelasan saksi dokter Maulana Karyadi Fatiran yang menandatangani Hasil Pemeriksaan Urine in casu, saksi menandatangani Hasil Laboratorium in casu berkali-kali, karena dirubah-rubah oleh dan diminta dirubah oleh Penyidik atas permintaan Penyidik ;

• Bahwa menurut keterangan saksi dokter Maulana Karyadi Fatiran in casu, semua prosedur standar dalam memeriksa Hasil Laboratorium in casu telah tidak sesuai, karena standar a quo telah dilaksanakan di seluruh rumah sakit, karena keterangan saksi dokter Maulana Karyadi Fatiran harus dipertimbangkan dan telah dipertimbangkan oleh Judex Facti ;

• Bahwa dari seluruh bukti-bukti yang diajukan di persidangan ternyata tidak ada bukti yang mendukung dakwaan Penuntut Umum, kecuali hasil pemeriksaan Urine Terdakwa yang dinyatakan Positif mengandung Ganja akan tetapi hasil pemeiksaan Urine tersebut diragukan kebenarannya, apakah benar hasil pemeriksaan Urine Terdakwa, sebab mulai dari proses pengambilan Urine Terdakwa sampai pada pengujiannya terdapat hal-hal yang mencurigakan yang dapat diduga sebagai direkayasa;

Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2014

Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut :

– Ganja barang bukti hanya netto 1,1 gram ;

– Terdakwa tidak terbukti sebagai pengedar atau pelaku kejahatan Narkotika lainnya ;

– Terdakwa sedang berada dalam tahanan Kejaksaan karena kasus sebagai pengguna Narkotika ;

Oleh karena itu alasan kasasi Terdakwa bahwa maksud dan tujuan Terdakwa menyimpan bungkusan ganja tersebut yang disimpan di celana dalam, untuk digunakan sendiri dapat dibenarkan dan diyakini kebenarannya, bukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Tidak disertakannya hasil test urine merupakan kekurang lengkapan dalam penyidikan, tidak bisa dibebankan kepada Terdakwa ;

Namun sekalipun Terdakwa terbukti sebagai pengguna Narkotika, akan tetapi Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum, maka demi keadilan Terdakwa tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagaimana dakwaan Alternatif Kedua, akan tetapi pemidanaan mengacu kepada fakta di persidangan sebagai penyalahguna bagi diri sendiri yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sebagaimana hasil keputusan rapat pleno kamar pidana Mahkamah Agung di Bandung ;

Putusan Nomor 210 PK/Pid.Sus/2018

Menimbang bahwa telah terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam musyawarah Majelis Hakim dan telah diusahakan dengansungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai denganketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentangMahkamah Agung, perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari HakimAgung pada Mahkamah Agung Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,M.Hum., dimuatsebagai berikut:

– Alasan Peninjauan Kembali Pemohon pada pokoknya tidak sependapat judex facti dalam hal menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat dirinya tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Keberatam Pemohon tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan;

– Fakta hukum: Terdakwa pada tanggal 25 April 2017 ditangkap Polisi, ketika dilakukan penggeledahan ditemukan 1 (satu) bungkus plastic berisi sabu berat kotor 0,57 (nol koma lima tujuh) gram/netto 0,2607 (nol koma dua enam nol tujuh) gram dan 1 (satu) alat penghisap sabu;

– Terdakwa mendapat pesanan dari Saudara NICO membeli sabu untuk tujuan digunakan bersama. Terdakwa memperoleh sabu netto sebanyak 0,2607 (nol koma dua enam nol tujuh) gram dengan cara membeli dari Saudara DARMA dengan harga Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah);

– Terdakwa membeli sabu tersebut tujuannya untuk digunakan sendiri secara melawan hukum atau melawan hak;

– Sebelum ditangkap Terdakwa menggunakan sebagian dari sabu tersebut;

– Aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara, penyidik tidak melakukan pemeriksaan urine dan Jaksa Penuntut Umum tidak merumuskan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a;

– Pertanyaan hukum: Apakah perbuatan Terdakwa membeli kemudian memiliki, menyimpan, menguasai sabu untuk tujuan digunakan secara melawan hukum dapat dipersalahkan memenuhi ketentuan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ataukah ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a yang tidak didakwakan?

– P3 berpendapat perbuatan Terdakwa a quo tidak serta merta dapat diterapkan ketentuan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1), meskipun pada waktu ditangkap Terdakwa ditemukan sedang membeli atau memiliki, menguasai, menyimpan narkotika jenis sabu bruto 0,57 (nol koma lima tujuh). Sebab dari segi mens rea Terdakwa tidak bermaksud melakukan kegiatan peredaran gelap narkotika;

– Bahwa dari segi historis pembuatan Undang-Undang Narkotika, ketentuan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) diperuntukkan bagi para bandar, pengedar, penjual, menerima, orang yang menyerahkan, menjadi perantara jual beli narkotika dan sebagainya, dengan maksud dan tujuan melakukan kegiatan peredaran gelap narkotika. Sedangkan fakta sidang menunjukkan bahwa mens rea Terdakwa membeli kemudian memiliki, menguasai, menyimpan narkotika adalah bermaksud untuk tujuan mengunakan secara melawan hukum;

– Penerapan pasal-pasal tersebut wajib memperhatikan dan mempertimbangkan maksud dan tujuannya, dengan kata lain menerapkan undang-undang bukan berdasarkan tekstual bunyi undangundang belaka tetapi melainkan berdasarkan kontekstualnya, atau hakikat dari substansi yang dikandung;

– Apabila mens rea Terdakwa membeli, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika untuk maksud dan tujuan menggunakan secara melawan hukum maka wajib menerapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a, apabila mens reanya dengan maksud untuk melakukan kegiatan peredaran gelap narkotika maka menerapkan Pasal 112 ayat (1) atau Pasal 114 ayat (1);

– Bahwa secara akal sehat seharusnya dapat dipahami kedudukan Terdakwa sebagai penyalahguna tentu sebelum menggunakan narkotika maka terlebih dahulu membeli narkotika setelah itu kemudian memiliki, menguasai, menyimpannya selanjutnya Terdakwa menggunakannya secara melawan hukum. Terdakwa tidak mungkin dapat menggunakan narkotika tanpa terlebih dahulu membeli, kemudian memiliki, menyimpan, menguasai, kecuali Terdakwa dipanggil menggunakan narkotika;

– Bahwa judex facti maupun Jaksa Penuntut Umum dalam memeriksa perkara a quo wajib mempertimbangkan mens rea Terdakwa seperti yang terungkap dipersidangan, mens rea Terdakwa membeli dan memiliki sabu tersebut semata-mata untuk digunakan secara melawan hukum dan bukan untuk tujuan lainnya;

– Oleh karena itu, apabila seorang penyalahguna dalam hal ini Terdakwa ketika ditemukan sedang membeli atau memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika dengan mens rea untuk menggunakan tidak dapat dipersalahkan melanggar Pasal 114 ayat (1) sebagaimana dalam perkara a quo;

– Bahwa dalam putusan judex facti hanya mempertimbangkan secara kasat mata actus reus/perbuatan materil Terdakwa yaitu membeli dan memiliki sabu, tanpa mempertimbangkan mens rea Terdakwa. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip hukum pidana atau teori pertanggungjawab pidana yang wajib diterapkan dalam setiap memeriksa dan menuntut perkara di pengadilan. Bahwa azas hukum yang selama ini berlaku dan dijunjung tinggi dalam praktek peradilan pidana bahwa tidak ada pidana tanpa ada kesalahan. Bahwa penuntutan dan penjatuhan pidana Terdakwa hanya dengan dasar actus reus semata sama sekali tidak dibenarkan dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia;

– Fakta hukum lainnya untuk menunjukkan benar Terdakwa penyalahguna yaitu Terdakwa tidak pernah terkait dalam kegiatan peredaran gelap narkotika, hal ini dapat dibuktikan hasil pemeriksaan persidangan tidak terungkap fakta Terdakwa pernah menjual, mengedarkan secara gelap narkotika. Terdakwa tidak pernah menjadi jaringan/sindikat peredaran gelap narkotika;

– Selain itu tersebut, sepanjang pemeriksaan sidang tidak terungkap kalau Terdakwa pernah membeli, memiliki, menguasai, menyimpan narkotika dalam jumlah banyak melebihi batas maksimum kepemilikan dan pemakaian bagi penyalahguna narkotika;

– Bahwa untuk membuktikan benar Terdakwa penyalahguna narkotika dapat diketahui berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa membeli, memiliki narkotika jenis sabu netto 0,2607 (nol koma dua enam nol tujuh) gram. Ini berarti Terdakwa hanya membeli dan memiliki sabu dalam jumlah sedikit. Bahwa sudah menjadi notoire feiten Terdakwa membeli dan memiliki sabu dalam jumlah ini pada umumnya dapat diyakini untuk sekali pemakaian dan tidak untuk dijual atau diperdagangkan dan sebagainya;

– Bahwa sabu yang dibeli dan dimiliki Terdakwa tersebut masih sejalan dengan ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 juncto SEMA Nomor 3 Tahun 2011 mengenai kepemilikan narkotika bagi pengguna yang sedang menjalani rehabilitasi medis untuk jenis sabu sebanyak 1 (satu) gram, untuk jenis ganja sebanyak 5 (lima) gram dan untuk jenis ecstasy sebanyak 8 (delapan) butir pil. Sedangkan Terdakwa membeli dan memiliki sabu hanya sebanyak 0,2607 (nol koma dua enam nol tujuh) gram dan tidak melebihi batas SEMA tersebut;

– Terdakwa membeli sabu dan Saudara DARMA harga Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) dengan tujuannya untuk digunakan sendiri secara melawan hukum bukan pertama kali melainkan sudah berulang kali dibeli untuk digunakan;

– Bahwa sudah menjadi kebutuhan dasar bagi penyalahguna ketika narkotika yang dibeli, dimilikinya habis maka tentu akan mencari lagi narkotika, dan keadaan ini akan berulang terus pada dirinya penyalahguna hingga akhirnya akan mengalami kecanduan/ketergantungan;

– Salah satu bukti ilmiah yang tingkat akurasinya sangat tinggi dan tidak terbantahkan dengan alat bukti lainnya kecuali dibantah dengan alat bukti ilmiah lainnya yaitu melalui pemeriksaan urine, darah atau DNA Terdakwa dan sebagainya. Hasil pemeriksaan ilmiah ini secara hukum dapat dipastikan dan ditentukan Terdakwa sebagai penyalahguna atau tidak, hanya saja dalam perkara a quo pihak kepolisian tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk mengajukan permintaan pemeriksaan urine, darah, DNA Terdakwa kepada pihak yang berwenang untuk itu. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 75 huruf l Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009;

– Sikap pihak kepolisian tersebut, selain bertentangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil terhadap suatu perkara yang sedang di proses dan diperiksa untuk diadili di persidangan juga bertentangan dengan HAM Terdakwa karena mengingkari hak mendasar dari Terdakwa yang dijamin dalam konstitusi dan ketentuan undang-undang;

– Sikap pihak kepolisian tersebut yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tentu merugikan kepentingan Terdakwa untuk mendapatkan kebenaran materil dari perkara yang didakwakan kepadanya;

– P3 berpendapat Terdakwa tidak dapat dirugikan atas tindakan aparat penegak hukum yang tidak objektif, jujur dan profesional menjalankan tugas dan kewajibannya;

– Bahwa dengan mengacu pada fakta bahwa Terdakwa telah menggunakan sabu sebelum ditangkap, apabila dilakukan pemeriksaan urine, darah, DNA Terdakwa maka dapat diyakini hasilnya positif mengandung metamphetamine;

– Sebagai bagian dan tindak lanjut dari sikap aparat penegak hukum yang tidak profesional maka pihak kejaksaan ikut pula melakukan tindak tidak profesional yaitu tidak merumuskan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Semua tindak dan sikap tersebut mengingkari sistem peradilan yang adil dan jujur, objektif dan profesional (sistem peradilan yang Fair Trail). Hal ini dilakukan dengan maksud dan tujuan memaksa hakim untuk menerapkan ketentuan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Padahal faktanya Terdakwa adalah penyalahguna narkotika;

– Bahwa cara-cara penegakan hukum yang demikian tentu bertentangan dengan sistem hukum dan peradilan serta bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum atau rule of law;

– Bahwa meskipun Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, namun menurut ketentuan Hukum Acara Pidana apabila perbuatan yang terungkap dan terbukti di persidangan bahwa Terdakwabmelakukan perbuatan yang tidak didakwakan maka secara hukumbTerdakwa harus dibebaskan, akan tetapi karena Terdakwa dalam memori kasasinya memohon agar dirinya untuk dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, maka P3/SJ berpendapat meskipun Pasal 127 ayat (1) tidak didakwakan pengadilan dapat menerapkan Pasal-Pasal yang tidak didakwakan dengan alasan: (1) Terdakwa dari sejak awal maupun dalam memori kasasinya telah meminta dan memohon serta menerima agar dirinya dipersalahkan menyalahgunakan narkotika meskipun Pasal yang tidak didakwakan, (2) Pasal yang tidak didakwakan namun dinyatakan terbukti ancaman hukumannya lebih rendah dari ancaman hukuman Pasal yang didakwakan, (3) Bahwa tujuan menerapkan ketentuan/Pasal yang tidak didakwakan semata-mata untuk menegakkan kebenaran materil, keadilan serta kemanfaatan hukum. Hal ini tidak melanggar prinsip HAM dan Fair Trail, selain itu tujuannya menyelamatkan Terdakwa dari penerapan hukum dan penjatuhan pidana yang tidak adil dan jujur, (4) Mengikuti dan melanjutkan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung yang sejak beberapa puluh tahun diakui dan diikuti oleh pengadilan dan Mahkamah Agung, (5) Tindak pidana yang didakwakan sejenis atau serumpun dengan tindak pidana yang tidak didakwakan;

– Terdakwa tidak dapat dilakukan rehabilitasi medis/sosial karena tidak terdapat fakta hukum bahwa Terdakwa telah melakukan penyalahgunaan narkotika berulang kali yang mengakibatkan Terdakwa mengalami gangguan atau kecanduan atau ketergantungan narkotika, apalagi dalam pemeriksaan sidang tidak terungkap kalau terdapat ada keterangan yang merekomendasikan agar Terdakwa direhabilitasi;

– Berdasarkan alasan pertimbangan tersebut, judex facti salah menerapkan hukum ketentuan Pasal 112 ayat (1) seharusnya diperbaiki dengan menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a;

 

(update 11 Okt 2021)

 

Putusan Nomor 72 K/Pid.Sus/2016

– Bahwa menurut keterangan Terdakwa shabu yang ditemukan tersebut merupakan sisa Narkotika yang telah dipergunakan oleh Para Terdakwa sendiri secara melawan hukum atau melawan hak;

– Bahwa untuk mengetahui dan membuktikan benar Terdakwa penyalahguna dan bukan pengedar dapat dibuktikan dengan pemeriksaan urine, darah atau DNA Terdakwa namun tidak dilakukan oleh pihak Kepolisian;

– Bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam proses penyidikan perkara aquo adalah tidak melakukan pemeriksaan urine/darah atau DNA Terdakwa sehingga pemeriksaan tidak berjalan sesuai dengan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil hal ini berakibat hak hak Terdakwa untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil, jujur dan objektif dan tidak berpihak dari aparat hukum tidak tercapai sehingga sangat merugikan Terdakwa dalam proses pemeriksaan perkara a quo;

– Bahwa meskipun terhadap diri Terdakwa tidak dilakukan pemeriksaan urine Majelis Hakim tetap berkeyakinan bahwa untuk mengetahui dan membuktikan Terdakwa benar penyalahguna dan bukan pengedar dapat dibuktikan berdasarkan fakta hukum yang terungkap serta alat bukti yang mendukung untuk hal tersebut;

 

Sumber: https://yurapratama.wordpress.com/2021/09/24/seputar-tes-urine-dalam-perkara-narkotika/