Articles

Shared Parenting Pasca Perceraian, Efektifkah?

Oleh: Musthofa, S.H.I, M.H. (Hakim Pengadilan Agama Bajawa)

Kasus perceraian di pengadilan terhitung masih banyak. Bahkan menempati posisi teratas yang diperiksa di Pengadilan Agama. Menurut data, perceraian di Pengadilan Agama yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dalam laporan tahunan 2020 mencatat bahwa sebanyak 518.627 (ditambah sisa perkara 2019) pasangan bercerai sepanjang tahun 2020. Angka perceraian tersebut tentu tidak bisa dibilang  sedikit.

Fakta tersebut memberikan dampak besar kepada kondisi sosial dan psikis anak. Dampak nyata dari keretakan rumah tangga sangat berdampak pada terabaikannya hak-hak yang harus diperoleh oleh buah hati, si kecil penerus masa depan keluarga. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia sepanjang tahun 2016 hingga 2020 di beberapa daerah, anak telah menjadi korban. Anak korban perebutan hak asuk sebanyak 1.082 kasus. Anak korban pelarangan akses bertemu orang tua sebanyak 1.305 kasus. Dan anak korban penelantaran ekonomi (hak nafkah) sebanyak 924 kasus. Angka kasus yang menimpa anak dari tahun ke tahun juga meningkat. Data tersebut tentu membuat mata terbelalak. Dan fenomena tersebut bagai gunung es. Kasus yang terdata dan terlihat sebenarnya merupakan bagian kecil dari kasus yang tidak tampak dan jauh lebih banyak.

Disaat mereka membutuhkan bimbingan, perhatian dan perlindungan, mereka harus menghadapi kenyataan kerasnya kehidupan. Harapan untuk memperoleh haknya yang dijamin oleh undang-undang terancam terenggut karena pecahnya rumah tangga kedua orang tuanya. Untuk meminimalisir kesedihan anak akibat perpecahan orang tua, ada model pola asuh anak yang sedang berkembang dan jadi solusi terbaik. Model hak asuh anak tersebut adalah shared parenting atau co parenting atau joint custody. Model hak asuh ini ingin memberikan solusi pola pengasuhan anak yang menitikberatkan kepada kepentingan anak dan peran maksimal hadirnya kedua orangtua dalam mengasuh anak.

Bila kita telisik lebih jauh ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hak anak. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum mengatur secara eksplisit bagaimana pola asuh anak pasca kedua orang tuanya bercerai. Sebut saja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat satu bab yang mengatur hak anak. Kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada anak secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu diatur juga di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Beberapa peraturan tersebut hanya memberikan perlindungan hak anak secara umum. Tidak secara tegas mengatur hak anak akibat perceraian orang tuanya.

Kewajiban orang tua kepada anak pasca putusnya perkawinan diatur secara eksplisit pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini juga dipertegas oleh Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Regulasi tersebut memberikan kewajiban kepada orang tua untuk memenuhi kebutuhan lahir anak sebagai akibat dari terjadinya perceraian. Sekalipun terjadi putusnya ikatan perkawinan antar orang tua tetapi kedua orang tua tetap dibebani tanggung jawab untuk mengurus anak-anaknya.

Semangat pengasuhan dengan model shared parenting tercermin di dalam beberapa putusan di Pengadilan Agama. Kebiasaan di Pengadilan Agama, dalam memutus perkara hak asuh anak tidak hanya mengarah kepada kebutuhan ekonomi anak sebagaimana amanat undang-undang. Lebih dari itu juga melibatkan kedua orang tua yang telah memutuskan untuk berpisah. Putusan tersebut secara tegas menyatakan, memberikan hak kepada orang tua yang tidak diberikan hak asuh dengan memberikan kesempatan menjenguk anak sepanjang tidak mengganggu kepentingan anak. Putusan demikain patut diapresiasi walaupun masih mengandung kesan hak asuh anak adalah hak ayah atau hak ibu. Setidaknya dalam putusan tersebut mengandung semangat shared parenting dalam mengasuh anak.

Model hak asuh anak dengan menggunakan konsep shared parenting, setidaknya dapat dilihat dari Azka Corbuzier. Anak yang dilahirkan dari pasangan Dedy Corbuzier dengan Kalina Oktarani yang telah memilih berpisah. Meski orang tuanya memutuskan berpisah, asupan kasih sayang dari kedua orang tuanya terasa tidak berkurang meski sudah bercerai. Azka memilih tinggal bersama ayahnya. Namun, ibunya selalu meluangkan waktu untuk hadir  tiap hari datang membawakan makan, menyuapi, dan mengurusnya. Bagi  Azka, Dedy dan Kalina memang sudah memutuskan tali ikatan suami istri, tapi dia menganggap mereka tetap orangtuanya.

Melihat pola asuh yang ditempuh oleh Dedy Corbuzier dan Kalina di atas, shared parenting dapat dikatakan pola asuh yang tepat pasca perceraian untuk memenuhi hak anak. Namun demikian, tidaklah mudah dilaksanakan. Pasca perceraian, biasanya anak menjadi korban pertama kali. Mereka tak terurus dan terpukul secara psikis melihat orang tua yang memutuskan untuk berpisah.

Pola asuh anak dengan konsep shared parenting dapat dikatakan sangat efektif. Kehadiran orang tua di tengah kehidupan anak dapat membuat anak lebih bahagia. Kondisi keluarga yang kondusif, meski ada riak (cerai) akan memberi kesempatan anak untuk berkembang. Namun demikian, Efektif dan tidaknya pola hak asuh anak dengan konsep shared parenting terletak pada sikap orang tua terhadap anak.

Pasca bercerai, orang tua harus menjadi sistem penjelas yang baik bagi anak-anaknya. Semaksimal mungkin orang tua menciptakan suasana yang kondusif. Dan tidak kalah penting selalu hadir setiap saat di kehidupan anak, baik saat anak membutuhkan maupun tidak. Langkah ini sangat penting sekali demi tumbuh kembang anak yang lebih baik.

Tanpa pendampingan dari kedua orang tua, anak akan kehilangan arah dan merasa sendiri. Kondisi demikian akan merugikan orang tua dan masa depan seorang anak. Hanya komitmen kedua orang tua anak yang dapat memberikan dorongan moral dan spiritual kepada anak untuk tetap tumbuh menjadi generasi yang lebih baik.