Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim PN Tanah Grogot)
Salah satu perbedaan antara KUHAP dengan pendahulunya yaitu Het Herziene Inlandsch Reglementatau H.I.R (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) adalah berlakunya asas accusatoir yang berarti terdakwa tidak lagi dianggap sebagai objek pemeriksaan tetapi merupakan subjek dari pemeriksaan. Asas ini terwujud salah satunya dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa asas pengadilan adalah memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Asas tersebut kemudian diejawantahkan antara lain dalam ketentuan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHAP. Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana sikap yang diambil hakim apabila terdakwa menolak untuk menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah?
I. Kewajiban Terdakwa Hadir dalam Persidangan
Pertama-tama, dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal 154 ayat (4) KUHAP dinyatakan bahwa “kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan haknya, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan”. Dari kaidah tersebut dapat dideduksikan bahwa kehadiran terdakwa bersifat imperatif (wajib; mandatory) dan tidak bersifat fakultatif (pilihan; alternatif; opsional) sebagai perwujudan asas pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Pasal 154 ayat (6) KUHAP bahkan memberikan kewenangan bagi hakim untuk memerintahkan agar terdakwa dihadirkan dengan paksa apabila tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya. Artinya, syarat sebelum terdakwa dipanggil paksa adalah:
- Panggilan telah dilakukan secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 145 dan 146 KUHAP;
- Terdakwa telah dipanggil sebanyak dua kali;
- Terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah.
Dari ketiga syarat di atas dapat disimpulkan bahwa terdakwa terlebih dahulu dipanggil dengan panggilan yang sah sebanyak dua kali. Apabila tetap tidak hadir, maka pada panggilan ketiga hakim memerintahkan agar terdakwa dihadirkan dengan paksa. Menurut Prof. M. Yahya Harahap, S.H., upaya paksa menghadirkan terdakwa pada masa H.I.R disebut dengan istilah opsporing atau pengawalan.
Sebagai perbandingan, ketentuan panggilan paksa dalam Pasal 154 ayat (6) KUHAP memiliki perbedaan dengan Article 7 Declaration of Human and Civic Rights of 26 August 1789 dalam Konstitusi Prancis yang memberikan sanksi tegas bagi warga negara yang melawan proses pemanggilan atau penangkapan sebagai berikut:
“No man may be accused, arrested or detained except in the cases determined by the Law, and following the procedure that it has prescribed. Those who solicit, expedite, carry out, or cause to be carried out arbitrary orders must be punished; but any citizen summoned or apprehended by virtue of the Law, must give instant obedience; resistance makes him guilty.”
(Terjemahan bebas: Tidak seorang pun dapat dituduh, ditangkap atau ditahan kecuali dalam kasus-kasus yang ditentukan oleh Hukum, dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Mereka yang meminta, mempercepat, melaksanakan, atau menyebabkan perintah sewenang-wenang harus dihukum; tetapi setiap warga negara yang dipanggil atau ditangkap berdasarkan Hukum, harus segera taat; perlawanan membuatnya bersalah.)
II. Konsekuensi Ketidakhadiran Terdakwa Sejak Sidang Pertama
Dalam peradilan modern, kehadiran terdakwa sangat penting karena berhubungan dengan haknya untuk membela diri sesuai kaidah dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) huruf d yang menyatakan:
3. Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal di bawah ini secara penuh, yaitu :
(d) Untuk diadili dengan dihadirinya dan membela diri secara langsung atau melalui bantuan hukum pilihannya sendiri, diberitahukan haknya, jika ia tidak mempunyai bantuan hukum, untuk memperoleh bantuan hukum yang ditunjuk untuknya apabila hal itu diperlukan demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, ketidakhadiran terdakwa akan mengakibatkan terdakwa kehilangan kesempatan untuk mengajukan keberatan, menjawab pertanyaan dan membela diri atau dengan kata lain terdakwa telah memalingkan diri dari dan melepaskan haknya (to waive from). Hak untuk tidak menjawab pertanyaan ini di Amerika Serikat dikenal sebagai the right to remain silent (hak untuk tetap diam).
Dalam konstitusi Amerika Serikat, the right to remain silent merupakan hak setiap warga negara dan dijamin dalam Fifth Amendment to the United States Constitution yang menyatakan:
“…nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law;”
(Terjemahan bebas: …juga tidak akan dipaksa dalam kasus pidana apa pun untuk menjadi saksi melawan dirinya sendiri, atau dirampas kehidupannya, kebebasannya, atau harta bendanya, tanpa proses hukum yang semestinya.)
Pendekatan negara liberal seperti Amerika Serikat menekankan pada prinsip perlindungan hak asasi manusia dan individualisme sehingga setiap warga negara memiliki the right to remain silent ketika ditangkap atau diperiksa oleh polisi. Hal tersebut didasarkan pada argumen bahwa polisi merupakan alat dari negara sehingga amat rentan bagi para aparatur negara untuk menyalahgunakan wewenang ketika melakukan pemeriksaan kepada warga negara. Nah, untuk memberikan buff kepada warga negara ketika berhadapan dengan apa yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai Leviathan─dalam hal ini adalah alat negara─maka warga negara dilindungi oleh perisai berupa the right to remain silent agar tercipta ekuilibrium antara hak yang diperiksa dengan yang memeriksa. Perlu diingat bahwa hak tersebut tidak bersifat mutlak karena dalam situasi tertentu, the right to remain silent justru dapat digunakan polisi sebagai incriminating evidence atau bukti yang memberatkan.
Menurut Prof. Muhammad Yahya Harahap, S.H., KUHAP di Indonesia tidak mengenal the right to remain silent sebagaimana yang dianut di Amerika Serikat. Asumsi ini didasarkan pada ketentuan Pasal 175 KUHAP yang menyatakan jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. Selanjutnya apabila terdakwa tetap menolak menjawab, maka sebaiknya tidak langsung ditarik kesimpulan bahwa hal tersebut adalah keadaan yang memberatkan tetapi “harus dinilai secara kasuistis dan realistis.” Masih menurut beliau, Pasal 175 KUHAP wajib ditempatkan secara proporsional dan seimbang karena “sistem yang diingini pasal 175 dalam pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan ialah meletakkan titik sentral pemeriksaan sidang pengadilan dalam suatu keseimbangan yang memperlindungi kepentingan terdakwa sebagai individu pada satu sisi tanpa memandang individu sebagai dewa dan kepentingan ketertiban masyarakat pada sisi yang lain tanpa mengorbankan kepentingan perlindungan individu demi mengejar kepentingan umum.”
Kembali pada topik mengenai konsekuensi ketidakhadiran terdakwa, apabila dilihat dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal 154 ayat (6) KUHAP dapat disimpulkan bahwa kehadiran terdakwa mutlakdibutuhkan apabila diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa. Hal ini tercermin dalam ketentuan Bagian Ketiga Acara Pemeriksaan Biasa Pasal 154 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas dan dilanjutkan hakim memeriksa identitas terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (1) KUHAP. Namun, KUHAP sendiri tidak menjatuhkan konsekuensi apabila penuntut umum tidak mampu untuk menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Kekosongan norma hukum tersebut selanjutnya diisi oleh Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 1 Tahun 1981 jo Putusan MA No. 121 K/Kr/1980 yang mengandung kaidah hukum bahwa apabila terdakwa sejak semula tidak hadir dan tidak ada jaminan pula bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan maka perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
Perlu diperhatikan bahwa terdakwa dimungkinkan untuk tidak hadir dalam persidangan apabila diatur secara khusus dalam KUHAP atau dalam undang-undang yang bersifat lex specialist. Istilah ini biasa disebut sebagai putusan in absentia atau verstek. Contoh dari putusan in absentia atau verstek yang diatur secara khusus dalam KUHAP adalah acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Bagian Keenam Acara Pemeriksaan Cepat Pasal 214 ayat (1) KUHAP jo SEMA Nomor 9 Tahun 1985) sebagai perwujudan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Selain itu, terdapat ketentuan yang bersifat lex specialist di luar KUHAP berupa peraturan perundang-undangan antara lain:
Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Pasal 79 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
III. Terdakwa Pernah Hadir dalam Sidang Pertama Tetapi Selanjutnya Tidak Hadir
Situasi lain yang dapat terjadi adalah apabila penuntut umum telah menghadirkan terdakwa dalam persidangan pertama tetapi dalam agenda persidangan selanjutnya terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah. Alasan ketidakhadiran terdakwa dapat disebabkan misalnya karena terdakwa ternyata kabur dari tahanan; atau menolak untuk hadir apabila tidak dilakukan penahanan; atau─dalam kasus yang sangat jarang─bahkan menyatakan walk out dari persidangan.
Apabila situasi di atas terjadi, maka sangat penting bagi hakim memedomani ketentuan Pasal 154 ayat (6) KUHAP sebagai berikut:
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
Menurut penulis kehadiran terdakwa dinilai sejak kehadiran pada sidang pertama karena berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (1) KUHAP, pada permulaan sidang hakim ketua sidang bertugas untuk menanyakan kepada terdakwa mengenai identitas yang terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya. Aturan inilah yang menurut penulis menjadi critical point dan ratio legis mengapa terdakwa wajib dihadirkan pada sidang pertama: agar hakim yakin bahwa orang yang dihadirkan di persidangan telah sesuai dengan yang disebutkan dalam surat dakwaan sehingga dakwaan tidak error in persona.
Bagaimana apabila terjadi perbedaan identitas terdakwa dalam surat dakwaan dengan identitas terdakwa yang sebenarnya? Pada tahun 2010, persoalan mengenai identitas pernah dipermasalahkan dalam kasus Terdakwa atas nama Arafat Enanie. Dalam surat dakwaan tertulis nama Terdakwa adalah Mohd. Arafat Enanine padahal penulisan yang seharusnya adalah Mohd. Arafat Enanie.
Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP sendiri menyatakan bahwa dakwaan menjadi batal demi hukum hanya apabila tidak terpenuhinya ketentuan “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.” Pada akhirnya, konsekuensi apabila terjadi kesalahan dalam penulisan identitas sebagaimana dalam Pasal 143 ayat (3) huruf a KUHAP dikembalikan kepada kebijaksanaan hakim. Biasanya, hakim cukup memanggil penuntut umum dan memerintahkan untuk merenvoi redaksi dalam surat dakwaan yang keliru.
Kembali pada soal kehadiran terdakwa: menurut penulis selama terdakwa telah diperiksa dan mengakui seluruh identitasnya dalam surat dakwaan maka sudah tidak relevan lagi untuk mempermasalahkan kehadiran terdakwa─terlebih lagi apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah─terlepas apakah terhadap terdakwa dilakukan penahanan atau tidak. Pendapat ini disandarkan pada SEMA Nomor 4 Tahun 1980 yang menyatakan:
“Hal demikian mengakibatkan :
a. bahwa apabila ia tidak hadir pada permulaan dan kemudian ia hadir, maka pemeriksaan dapatdiadakan dan diulangi pemeriksaan.
b. bahwa apabila tertuduh pernah hadir pada persidangan pertama dan telah menggunakan haknya untuk diperiksa dan diputus dengan hadirnya, terhadapnya tidak dapat dikenakan “verstek” melainkan Pengadilan dapat melanjutkan pemeriksaan dan memutus perkara tertuduh, yang merupakan putusan “op tegenspraak"”
Op tegenspraak adalah putusan bagi terdakwa yang pernah hadir dalam sidang pertama namun selanjutnya tidak hadir tanpa alasan yang sah. Paralel dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 154 ayat (6) KUHAP, SEMA Nomor 4 Tahun 1980 menekankan bahwa selama terdakwa pernah hadir pada persidangan pertama maka perkara tidak diputus verstek namun diputus secara op tegenspraak.
Secara umum, Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memang menyatakan bahwa putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa dalam hal terdakwa tidak hadir selama pemeriksaan dinyatakan telah selesai. Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP menjelaskan secara implisit bahwa pemeriksaan dinyatakan selesai apabila seluruh alat bukti termasuk keterangan terdakwa telah didengarkan. Namun apabila merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 1980, kaidah dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat disimpangi apabila ketidakhadiran terdakwa disebabkan tanpa alasan yang sah selama hakim telah memeriksa identitas terdakwa dan memperoleh keyakinan bahwa tidak terjadi error in persona. Konsekuensinya, hakim tetap dapat menjatuhkan putusan walaupun tanpa alat bukti keterangan terdakwa selama batas minimum dua alat bukti dan keyakinan hakim terpenuhi.
Perlu ditegaskan bahwa SEMA Nomor 4 Tahun 1980 juga menyatakan bahwa apabila terdakwa tidak hadir pada permulaan dan kemudian ia hadir, maka pemeriksaan dapat kembali diulang. Artinya, apabila misalnya terdakwa hadir pada agenda sidang pertama dan telah diperiksa identitasnya serta telah dibacakan dakwaan. Namun, terdakwa ternyata tidak hadir tanpa alasan yang sah ketika agenda pemeriksaan saksi dan baru hadir kembali setelah agenda pembacaan tuntutan. Apabila situasi tersebut terjadi, ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 1980 memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengulang pemeriksaan dengan kehadiran terdakwa. Kaidah tersebut koheren dengan ketentuan dalam Pasal 182 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:
“Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim - ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.”
Selanjutnya, karena putusan op tegenspraak bukanlah putusan verstek maka terhadap putusan ini hanya dapat diajukan upaya hukum banding selayaknya apabila terdakwa diputus secara contradictoir.
IV. Kesimpulan
Putusan pidana dalam acara biasa jika ditinjau dari kehadiran terdakwa terbagi menjadi: putusan contradictoir, verstek atau in absentia, dan op tegenspraak.
Sumber: https://rockrzone.tumblr.com/post/629071940820369408/tinjauan-yuridis-ketidakhadiran-terdakwa-dalam