Oleh: Muhammad Amin Putra, S.H., M.H. (Hakim PTUN Jayapura)
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan), upaya administratif menjadi suatu kewajiban oleh penggugat sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Politik hukum Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memosisikan upaya administratif dalam penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan sebagai upaya pertama (primum remidium), sedangkan penyelesaian sengketa di Pengadilan adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Sebagai sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat, upaya administratif baik secara literatur dan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua) tahapan yaitu keberatan dan banding administratif.
Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, upaya administratif sendiri diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan. Sedangkan pembagian dari upaya administratif yaitu keberatan dalam Pasal 76 ayat (1) dimaknai sebagai penyelesaian segketa yang dilakukan sendiri oleh pejabat yang menerbitkan keputusan dan banding administratif dalam Pasal 76 ayat (2) adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh atasan pejabat yang menerbitkan keputusan tersebut. Eksistensi upaya administratif dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, apakah lantas menjadi jalan keluar dalam penerapan upaya administratif bagi warga masyarakat? Tentu tidak. Secara garis besar permasalahan yang muncul pasca pengaturan upaya administratif yaitu pertama, perdebatan mengenai kata “dapat” dalam Pasal 75 ayat (1) dan kedua, kewenangan pengadilan tingkat pertama dan ketiga implementasi upaya administratif dengan jenis perkara tertentu oleh masyarakat sebelum mengajukan gugatan dan pemaknaan Hakim dalam praktik.
Memaknai Kata “dapat”
Permasalahan istilah “dapat dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengundang polemik dalam pelaksanaan upaya administratif. Sebagian berpendapat bahwa, dengan menggunakan kata “dapat” maka dapat dimaknai alternatif atau pilihan untuk mengajukan upaya administratif terlebih dahulu atau langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. Sedangkan sebagian lain berpendapat upaya administratif harus ditempuh oleh warga masyarakat sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Perbedaan pandangan tersebut dijawab oleh Mahkamah Agung dengan memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, hasil rumusan Kamar Tata Usaha Negara poin 3 huruf d menetapkan bahwa upaya administratif dalam bentuk keberatan/banding administratif sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) adalah berbentuk pilihan hukum. Selanjutnya dalam poin e disebutkan, dalam hal warga masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding dapat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana Pasal 1 angka 18 dan Pasal 76 ayat (3). Berdasarkan kesepakatan rapat pleno kamar tersebut, juga berdampak pada kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili sengketa setelah adanya banding administratif.
Dalam perjalanannya Mahkamah Agung kemudian menetapkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif (Perma Upaya Administratif), yang mengatur pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif, dengan menggunakan peraturan dasar yang mengatur upaya administratif tersebut. Kemudian, dalam hal peraturan dasar tidak mengatur upaya administratif maka pengadilan menggunakan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Setelah berlakunya Perma Upaya Administratif, maka pengajuan upaya administratif menjadi suatu keharusan dan tidak menjadi pilihan hukum bagi pihak sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding
Selain memaknai kata “dapat”, mengenai upaya administratif juga menimbulkan diskursus dalam hal kewenangan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sebagai pengadilan tingkat pertama. Sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Peratun), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. Dalam Pasal 48 ayat (2) diatur Pengadilan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Pada awalnya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 hasil rumusan Kamar Tata Usaha Negara nomor 1 huruf c, bahwa keputusan tata usaha negara yang sudah diperiksa dan diputus melalui upaya banding administrasi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, yang mana menjadi pengadilan tingkat pertama. Selanjutnya Mahkamah Agung pada 2019 memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, dalam poin 2 huruf b, ditetapkan revisi atas hasil rapat pleno Kamar Tata Usaha Negara tahun 2017, yang berisi:
- Dalam mengadili sengketa Tata Usaha Negara, pengadilan menggunakan peraturan dasar yang mengatur upaya administratif dan dalam hal peraturan dasar tidak mengatur secara khusus maka pengadilan harus berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan;
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tetap berwenang mengadili sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal peraturan dasar mengatur upaya administratif berupa banding administratif dan peraturan dasar telah menetapkan secara eksplisit Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berwenang mengadili;
- Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili pertama, dalam hal tidak peraturan dasar yang mengatur upaya administratif secara khusus, sehingga upaya administratif didasarkan pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Perma Upaya Administratif, kedua, apabila hanya terdapat upaya administratif keberatan berdasarkan peraturan dasarnya. Ketiga, perkara mengenai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembagunan untuk Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengenai Pasal 21 dan Pasal 53.
Berdasarkan hasil rumusan rapat pleno kamar telah ditetapkan kewenangan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara, adapun batasannya adalah dalam hal peraturan dasar mengatur upaya administratif berupa banding administratif dan peraturan dasar telah menetapkan secara eksplisit Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, maka menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ketentuan masih berwenangnya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tidak terlepas dari masih berlakunya Pasal 48 dan Pasal 51 Undang-Undang Peratun. Selain daripada ketentuan tersebut, maka menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama, termasuk dalam hal upaya administratif tidak ditanggapi/dijawab dalam batas tenggang waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka gugatan ke Pengadilan sudah dapat diajukan terhitung setelah upaya administratif dianggap dikabulkan tanpa perlu menempuh banding administratif.
Upaya Administratif, Praktik oleh Warga Masyarakat dan Hakim
Sebagaimana kita ketahui sengketa yang diadili oleh Pengadilan Tata Usaha Negara beragam, dengan satu kepastian yaitu Tergugat adalah badan dan/atau pejabat tata usaha negara/administrasi pemerintahan. Secara ringkas, jenis sengketa yang diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dibagi menjadi sengketa kepegawaian, pertanahan, perijinan, pengadaan barang dan jasa, keterbukaan informasi publik, sengketa proses pemilihan umum, TUN Umum (missal perangkat desa) dan yang terbaru sengketa tindakan pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad). Variasi perkara yang diadili oleh Pengadilan Tata Usaha Negara juga sejalan dengan pengaturan pada masing-masing jenis perkara, khususnya upaya administratif.
Pada beberapa praktik pengajuan upaya administratif, terdapat perbedaan dalam penerapan oleh warga masyarakat diantaranya sengketa kepegawaian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Undang-Undang ASN), pertanahan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020). Dalam sengketa kepegawaian memang telah diatur dalam Undang-Undang ASN yang menetapkan pengajuan keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dan banding administratif diajukan kepada badan pertimbangan ASN, sedangkan dalam praktik tidak demikian. Bahwa sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2021 tentang Upaya Administratif dan Badan Pertimbang Aparatur Sipil Negara, pengajuan upaya administratif dengan menggunakan Undang-Undang ASN seringkali oleh sebagian tidak dianggap oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak implementatif, karena instrumen hukum baik tenggang waktu penyelesaian dan lembaga pengajuan banding administratif belum ada. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai penggugat dianggap mengajukan upaya administratif berupa keberatan dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Sejalan dengan sengketa kepegawaian, dalam sengketa pertanahan juga diatur Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020, juga mengatur adanya upaya administratif yang terbatas pada keberatan. Dalam praktiknya juga warga masyarakat ketika mengajukan keberatan, ATR/BPN Kabupaten/Kota yang menerbitkan objek sengketa dalam menerapkan penyelesaiannya merujuk Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020. Disisi lain Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai dengan merujuk pada Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan pada juga dapat dipersamakan sebagai Upaya administratif keberatan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf a dan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Pemberlakuan upaya administratif yang bertingkat dan masing-masing berbeda tertentu menguras waktu pihak, disamping kemungkinan terdapat kesalahan objek gugatan dan pengajuan upaya administratif yang harus ditempuh ulang, dimasa yang akan datang diharapkan terdapat perubahan formulasi terhadap jenis-jenis sengketa yang perlu diajukan upaya administratif, atau langsung dapat diajukan gugatan ke pengadilan, dengan harapan terwujudnya efisiensi dan efektifitas penyelesaian sengketa.