Jenis | E-Book |
Tanggal Terbit | 06 Jan 2019 |
Bahasa | Indonesia |
Penulis | Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) |
Akses Gratis
Putusan pengadilan pada kasus yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban seringkali dianggap belum memenuhi harapan. Hakim kerap kali memutus suatu kasus kejahatan terhadap perempuan dengan minim memperhatikan situasi dan kondisi korban perempuan. Pada beberapa putusan, hakim beberapa kali menunjukan bias dalam menilai korban kejahatan seksual. Misalnya, korban yang dianggap sudah tidak perawan dipandang sebagai perempuan yang tidak baik sehingga pelaku terkadang dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan. Dalam perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), reviktimisasi korban bisa terjadi dengan kriminalisasi korban. Selain itu, Komnas Perempuan mencatat terdapat putusan yang terjebak dalam streotipe istri, patuh dan taat pada suami. Perkara tersebut dinilai Pengadilan masih belum dapat memberikan keadilan bagi perempuan korban KDRT. Keseluruhan permasalahan tersebut mengakar pada budaya patriarki dalam sistem sosial di masyarakat. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan, bahkan menganggap perempuan sebagai milik laki-laki. Budaya ini membuat laki-laki menjadi pihak yang mendominasi dan memiliki otoritas dalam mengambil keputusan